ANALISIS
Cukai Tembakau, Candu Penerimaan Negara
Pemerintah perlu mencari alternatif untuk penerimaan cukai. Selama ini industri rokok menjadi andalan penerimaan, tapi berbagai tekanan membuat kinerja sektor ini melemah. Tim Riset Katadata melakukan reportase mengenai permasalahan ini dan menuliskannya secara komprehensif.
Pemerintah mengandalkan penerimaan cukai dari tembakau. Rumitnya tarif cukai membuat penerimaan kurang optimal.
Selasa 30/5/2017, 07.00 WIB

Dibatasi, tapi menjadi andalan penerimaan negara. Itulah gambaran industri rokok nasional. Berbanding terbalik dengan kinerja industri yang terus melemah akibat berbagai tekanan, pemerintah justru terus menggenjot penerimaan dari cukai tembakau.

Tahun ini, Kementerian Keuangan menetapkan target perolehan cukai Rp 157 triliun, lebih dari 95 persen atau sebesar Rp 149,9 triliun berasal dari tembakau. Jumlah ini meningkat dibanding target 2016 sebesar Rp 148,1 triliun, dengan sumbangan cukai tembakau yang diharapkan Rp 141,7 triliun.

Padahal, target tahun lalu meleset. Realisasi total penerimaan cukai hanya Rp 144 triliun (setara dengan 10,7 persen penerimaan pajak), dengan kontribusi tembakau Rp 139 triliun.

Tanda-tanda sumbangan cukai, terutama tembakau, akan kembali merosot terlihat dari perolehan sepanjang kuartal 1 2017, sebesar Rp 5,9 triliun, turun dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 6,9 triliun. Sebagai catatan realisasi kuartal pertama dalam beberapa tahun terakhir memang selalu jauh lebih rendah.

Berkurangnya penerimaan cukai tembakau tak lepas dari produksi rokok yang terus menurun. Pada 2016, jumlah rokok yang dihasilnya sebanyak 342 miliar batang, lebih rendah 1,8 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 348 miliar batang. Unit usaha industri rokok juga menurun. Dari 4.669 perusahaan pada 2007 menjadi menjadi 700 pada 2014, dan tersisa 600 pada 2016.

Rokok Andalan Penerimaan Cukai

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, menurunnya jumlah perusahaan membuat tenaga kerja sektor tembakau ikut terpangkas dalam lima tahun terakhir. "Pekerja sektor manufaktur rokok dan pada perkebunan tembakau turun sebesar 4,7 persen,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, dalam 10 tahun terakhir, produksi hasil tembakau menunjukkan tren negatif yaitu -0,28 persen. Meski demikian, target cukai terutama untuk produk tembakau terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. “Walaupun turun tetap berkontribusi terhadap penerimaan negara,” ujar Sri.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengatakan turunnya produksi rokok merupakan dampak dari kenaikan cukai saban tahun, plus daya beli masyarakat yang melemah.

Perkembangan industri rokok, dan kebijakan yang dihasilkan pemerintah untuk mengatur sektor tersebut memang terkait dengan beragam kepentingan. Dari sisi kesehatan, produk tembakau memang harus dikendalikan sehingga kenaikan tarif cukai tak bisa dihindari. Namun, pendapatan cukai diandalkan untuk menopang APBN.

Faktor yang juga menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan adalah ketenagakerjaan. Enam juta orang menggantungkan hidupnya di industri ini, sebanyak 400 ribu bekerja di sektor formal. Dari sektor informal, industri ini berdampak pada kehidupan 2,3 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau dan sekitar 1 juta pedagang eceran.

Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, tahun ini, pemerintah kembali menaikkan tarif cukai untuk produk tembakau dengan besaran rata-rata sebesar 10,54 persen. Penerimaan cukai juga akan dialokasikan untuk menambah anggaran kesehatan sebesar Rp 17 triliun dari sebelumnya Rp 15,1 triliun.

Pemerintah juga menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hasil tembakau dari 8,7 pada 2016 persen menjadi 9,1 persen. Sebelumnya, pada 2015, PPN hasil tembakau sebesar 8,4 persen. Sesuai kesepakatan pemerintah dan industri, kenaikan PPN hasil tembakau memang akan terus berlangsung secara bertahap hingga 2019.

Saat ini, cukai dan pajak merupakan komponen terbesar harga rokok. Sekitar 60-70 persen penjualan rokok masuk ke kas negara. Dalam satu bungkus rokok, ada beberapa jenis pajak.

Sebagai ilustrasi sebungkus rokok berisi 12 batang dengan harga Rp 13.500 dikenakan cukai Rp 530 per batang, sehingga total cukai untuk 12 batang sebesar Rp 6.360. Pajak dikenakan 10 persen dari total cukai (Rp 636). Angka itu ditambah PPN sebesar 9,1 persen dari harga banderol yaitu Rp 1.228. Sehingga total pajak yang dibayarkan yaitu Rp 8.224 atau sekitar 61 persen dari harga banderol.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti mengeluhkan kenaikan tarif cukai tahun ini yang dianggap kian memberatkan. “Kinerja 2016 sangat terdampak dari kenaikan tarif cukai sebesar 15 persen, ini dihitung secara rata-rata tertimbang. Makin tinggi kenaikan tarifnya, industri tentu akan makin terjepit.”

Cukai yang berakibat pada tingginya harga membuat rokok ilegal menjamur. Akibatnya, pabrik harus bersaing dengan produsen rokok tanpa cukai. Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, menekankan bila kenaikan cukai tidak dibarengi pengawasan terhadap rokok ilegal maka akan kian membebani pengusaha.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyebutkan kian banyaknya rokok ilegal turut menekan produksi rokok. Padahal, sepanjang 2016, Direktorat Jenderal Bea Cukai melakukan lebih dari 2.200 penindakan terkait pelanggaran rokok ilegal, atau meningkat dibanding 2015 sebanyak 1.232 penindakan.

Porsi Pajak dalam Sebungkus Rokok

Memangkas Struktur Tarif Cukai

Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menilai pemerintah kurang kreatif karena mengandalkan penerimaan cukai tembakau. Menurut dia besarnya penerimaan cukai sebaiknya berasal dari peningkatan tarif, bukan dari peningkatan penjualan. “Dengan begitu maka konsumsi rokok akan turun,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, menambahkan tidak adanya peta jalan bagi industri rokok membuat pemerintah bingung membawa industri rokok ke arah mana. Menurut dia, seharusnya pemerintah tak lagi bergantung pada industri tembakau. Namun disisi lain, tak adanya rencana jangka panjang ihwal tenaga kerja di sektor ini membuat pemerintah tak bisa mengambil langkah yang jelas.

Untuk itu Yustinus mendorong pemerintah agar tak hanya bergantung pada cukai komoditas tembakau saja, tetapi harus ada perluasan basis pajak lainnya. Selain itu, penetapan kebijakan cukai juga berlaku jangka panjang, dengan dasar formula yang jelas dan bisa diprediksi oleh industri.

Tidak adanya dasar formula yang jelas dalam penentuan tarif cukai juga menjadi momok kekhawatiran pelaku industri. Tanpa formula yang jelas, kenaikan tarif membuat industri tak bisa membuat perencanaan bisnis secara pasti.

Besaran kenaikan tarif cukai tembakau setiap tahun kerap disambut dengan rasa berdebar. Hal ini berbeda dengan kenaikan PPN rokok, yang besarannya sudah dibicarakan sebelumnya. “ Kalau kenaikan cukai itu kami hanya bisa bermain tebak-tebakan, kami deg-degan setiap mau pengumuman,” ujar Ketua Gaprindo, Muhaimin.

Kalangan industri juga menyadari kenaikan cukai adalah hal yang wajar. Namun perhitungan kenaikan itu sulit diprediksi, karena tak hanya menghitung inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetapi juga adanya faktor tertentu dalam pertimbangan kenaikan tembakau, terutama kebutuhan keuangan negara. “Itu yang sulit kami prediksi,” katanya Ismanu.

Di sisi lain, sistem tarif cukai saat ini dipandang rumit sehingga mengurangi efektivitas pengendalian rokok. Menurut Abdillah, tarif cukai rokok saat ini yang terdiri 12 tingkatan (layer) membuat rentang harga rokok termurah dan paling mahal sangat lebar. Dengan rentang itu, masyarakat memiliki pilihan harga yang murah dan terjangkau bagi masyarakat. “Sehingga tujuan pengenaan cukai untuk pengendalian konsumsi rokok tidak tercapai,” ujarnya.

Sebagai gambaran, harga rokok yang masuk dalam Golongan 1 (tarif paling mahal) mencapai Rp 22.000 per pak (isi 20), dengan total pajak yang dibayarkan sekitar Rp 14.000. Sementara harga rokok masuk Golongan 2 (dengan tarif cukai paling murah) harga rokok sebesar Rp 12.000 per pak (isi 20) dengan kontribusi pajak Rp 7.470 per pak.

Secara nominal, harga rokok di Indonesia memang lebih murah dibanding negara-negara lainnya di Asia. Menurut survei Numbeo, yang mengambil perbandingan harga sebungkus Marlboro di berbagai negara, harga rokok tersebut di Indonesia sekitar Rp 20.000, jauh di bawah Singapura yang menjual rokok sejenis di kisaran Rp 120.000.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai patokan harga nominal tak bisa digunakan sebagai perbandingan karena daya beli masyarakat Singapura dan Indonesia berbeda.

Menurut Bank Dunia, PDB per kapita Singapura sebesar US$ 52.888 (2015), jauh lebih besar dibanding Indonesia (US$ 3.446). Artinya, pendapatan orang Singapura 15 kali lipat lebih tinggi. Dengan menggunakan PDB per kapita, harga rokok di Indonesia justru lebih mahal.

Abdillah mengatakan Kementerian Keuangan harus memiliki rencana jangka panjang penyederhanaan sistem cukai secara bertahap. Banyaknya golongan tarif menyebabkan potensi kehilangan penerimaan negara. “Kebijakan cukai seharusnya dilakukan secara sederhana, dengan cara bertahap dan terukur,” ujar Abdillah.

Untuk mengoptimalisasi kebijakan cukai, Lembaga Demografi UI pernah mengusulkan road map penyederhanaan sistem cukai ke Kementerian Keuangan. Pengurangan struktur golongan cukai itu dapat dilakukan secara bertahap selama lima tahun. Tahapannya yaitu, pada 2018, tarif cukai yang terdiri 12 layer diturunkan menjadi sembilan. Kemudian pada 2018 akan berkurang menjadi lima. Pemangkasan dilanjutkan menjadi empat golongan tarif pada 2019, dan tiga golongan tarif pada 2020, sehingga akhirnya menjadi dua golongan tarif pada 2021.

Menurut Abdillah, dari segi penerimaan negara, sistem berlapis yang saat ini digunakan menyebabkan potensi kehilangan penerimaan. Oleh sebab itu perlu komitmen politik untuk menyederhanakan sistem cukai rokok.

Kementerian Keuangan sendiri tengah mengkaji penyederhanaan struktur tarif cukai demi penerimaan negara yang lebih optimal. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Goro Ekanto, menjelaskan pemerintah mempertimbangkan pengurangan struktur tarif cukai dari 12 menjadi sembilan tingkatan. Pemerintah mengakui rumitnya struktur tarif membuat penerimaan cukai belum optimal.

 (Baca: Mendorong Ekstensifikasi Cukai)